Ditulis oleh Anice, seorang guru SMP Lentera Harapan Kupang, NTT di bawah Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH)
Berbeda dengan Art of Novel, kumpulan esai Milan Kundera, buku yang diterbitkan Yayasan Komunikasi Bina Kasih tahun 2011 ini tergolong ringan. Saya membacanya selama duduk di bangku antrian pengurusan kartu ATM (tak perlu sebut merek) saya yang bermasalah kemudian berlanjut ke urusan panjang pembaruan KTP di kantor Dispenduk Oelamasi, kab Kupang yang kerontang dan berangin kencang.
Salut dengan Mrs Abbott
yang adalah seorang IRT, juga bekerja paruh waktu di pasar swalayan,
memiliki seorang anak perempuan berumur lima tahun, serta juga menjadi
redaktur pelaksana di website KabarIndonesia.
Ia seorang yang tak suka berleha-leha.
Setiap waktu ia gunakan untuk sesuatu yang bermanfaat. Selain menulis di
website KI, di beberapa blog pribadinya, mengecek dan membalas email,
mengirim kartu ucapan kepada kerabat dan kenalan, menjadi pekerja paruh
waktu, mengurus anak dan suami sebagai prioritasnya, ia pun suka memasak
dan berkebun. Membaca kesukaannya memasak dan berkebun, saya mengingat
seorang penulis perempuan Indonesia yang juga luar biasa dan sangat
menginspirasi. Beliau adalah Bunda Naning Pranoto. Kalau di buku Antusiasme,
terbaca Mrs Abbott meleburkan kegiatan memasak dan menulis sehingga
menerbitkan sebuah buku memasak, maka Bunda Naning Pranoto, selain
memasak dan berkebun yang sudah lama dilakoni, belakangan ini beliau
banyak terlibat dalam penyelenggaraan lomba-lomba menulis baik cerpen
atau puisi terkait seruan untuk menjaga dan merawat bumi dengan istilah Sastra Hijau.
Kembali ke Antusiasme. Memang
dalam buku ini, kekurangan yang bagi saya sangat menonjol adalah selain
menuturkan rutinitasnya sebagai IRT (walaupun ini mungkin dimaksudkan
supaya, “Nih, lihat, seperti inilah pekerjaan seorang ibu rumah
tangga yang seolah tak pernah ada habisnya, tapi saya masih bisa
mengatasinya, dan bahkan masih sempat-sempatnya menyediakan waktu untuk
menulis,”) terkadang dialognya mengulang apa yang sudah ia deskripsikan sebelumnya yang sebenarnya tak perlu.
Selebihnya, dari buku ini kita bisa
berefleksi banyak tentang menjadi seorang perempuan yang menulis.
Mengikuti ritme kerja dan hasratnya menulis, kesadaran pun terkuak dan
bisa muncul kata-kata demikian, “Tolong, waktu bahkan 15 menit atau setengah jam itu penting dan berharga untuk kau pakai setidaknya untuk membaca atau menulis.”
Terima kasih untuk para perempuan hebat. (*)